Monday, April 7, 2008

Ironi Dunia Pendidikan di Indonesia

Koran KOMPAS hari ini sebagian besar memuat seputar dunia pendidikan. Ada yang menggembirakan, namun lebih banyak yang mencemaskan.

Pertama soal Buku Pelajaran seperti yang pernah saya tulis di sini, saya teringat pada saat saya dulu sekolah di SD hingga SMP. Orang tua saya lebih sering membelikan buku-buku pelajaran saya dengan kualitas "rombengan" bin loakan.

Sementara, di zaman anak saya sekolah, tak ada istilah buku bekas kakaknya bisa dipakai lagi, walau masih berumur setahun. Mau, ngak mau, mampu nggak mampu, harus beli buku baru. Padahal isinya tak jauh beda dengan tahun sebelumnya.

Dibawah judul: Pembelian Hak Cipta: Tantangan Baru Penerbit, RAB A. BROTO menulis: Kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta buku pelajaran, seperti disebutkan dalam Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2008, tak bisa dipungkiri mengancam eksistensi penerbit buku pelajaran. Namun, peraturan yang merupakan terobosan terkait berbagai keluhan atas polah penerbit buku pelajaran itu, sudah sangat tepat.

Penerbit selama ini terbukti tidak bisa dijadikan mitra terbaik karena hanya mementingkan untungnya sendiri.

Alasan utama mendukung Permendiknas tersebut mengingat pendidikan bermutu dan murah adalah hak setiap warga negara. Soal ini penting karena murahnya harga buku pelajaran pasti akan menentukan kemajuan dan masa depan bangsa.

Singkat kata, pemerintah kali ini adaptif dan perlu diacungi jempol kebijakannya. Keputusan yang semoga memang tulus untuk memajukan anak bangsa dan tidak dikotori kepentingan jangka pendek. Hal ini mengingat selalu ada peluang untuk menyeleweng dari maksud mulia. Salah satunya adalah obyektivitas Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dalam memilih naskah mana yang akan dibeli hak ciptanya.............

Penerbit selama ini sudah terlalu banyak menangguk untung dan kurang memedulikan kemaslahatan orang banyak. Contoh nyata bisa disaksikan dari membanjirnya keluhan para orangtua murid setiap tahun ajaran baru karena harus membeli buku baru. Buku lama tak bisa dipakai lagi.

Sistem korup mirip mafia yang melibatkan oknum penerbit, percetakan, birokrat di Depdiknas, makelar, sampai para kepala sekolah dan guru ini terjalin sangat rapi dan sistematis. Pendeknya, dari hulu ke hilir digarap.

Bisa dibayangkan sistem pengadaan buku yang sedemikian bobrok ini mengakibatkan pemborosan senilai ratusan miliar per tahun sesuai dengan omzet penerbit buku pelajaran. Mengutip angka yang dipaparkan dalam tulisan Junaidi Gafar (Kompas, 24/3), di Indonesia ada sekitar 150 penerbit buku pelajaran. Omzet rata-rata penerbit tersebut mencapai Rp 10 miliar per tahun.

Dana mubazir ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk memintarkan murid dan—terutama— meningkatkan kesejahteraan guru dengan cara lain yang lebih beradab. Karena itu, kebijakan pembelian hak cipta buku pelajaran perlu didukung dan dikawal semua pihak.

Pembelian hak cipta merupakan langkah desentralisasi. Bagaimana hal itu akan memberdayakan banyak pihak yang selama ini sekadar jadi penonton.

Kebijakan ini pun akan menunjang peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan pembelian hak cipta naskah buku, membuat guru tertantang untuk terus mengembangkan kompetensinya. Termasuk bila perlu berkolaborasi dengan pihak lain dan memanfaatkan teknologi untuk mewujudkan buku pelajaran yang berkualitas, baik secara isi maupun penunjang lainnya..............

Jadi tak sepantasnya pula ada yang keberatan terhadap kebijakan ini, jika niat dasarnya untuk memajukan pendidikan masyarakat. Sudah selayaknya pula kita memanfaatkan kemajuan teknologi yang memang bisa menekan biaya? Bukannya tetap berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah usang, tidak efektif, serta merugikan banyak orang.[ Rab A Broto Pengamat Perbukuan dan Direktur Sekolah Penulis Pembelajar (SPP) ]

Kemudian soal berita yang mencemaskan, antara lain soal Anggaran Pendidikan Tahun 2008.

Dengan judul tulisan: Anggaran Pendidikan:Dana BOS dan Tunjangan Guru Terancam Dipotong diuraikan bahwa: Anggaran pendidikan di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 dipastikan akan dipotong sebesar 10 persen, dari usulan semula Rp 49,7 triliun menjadi Rp 44,73 triliun. Pemotongan ini berkonsekuensi dipangkasnya pos-pos anggaran program strategis, salah satunya bisa saja dana bantuan operasional sekolah atau BOS.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam Acara Dialog dan Silaturahmi Insan Pendidikan di Balai Pelatihan Guru, Bandung, Sabtu (5/4), mengatakan, pemangkasan anggaran dari program BOS dan tunjangan khusus guru merupakan cara termudah untuk menyesuaikan instruksi pemotongan itu.

”Jumlah potongannya Rp 4,9 triliun. Sekarang saya juga lagi pusing. Kalau mau gampang, ya dipotong dari dana BOS. Porsi anggaran terbesar Depdiknas adalah untuk program BOS, yaitu Rp 11 triliun. Sementara itu, tunjangan guru Rp 4 triliun,” tuturnya..............

Dengan pemotongan sebesar 10 persen ini, besaran anggaran pendidikan di tahun 2008 tidaklah jauh berbeda dari tahun lalu, yaitu Rp 44,1 triliun.

Pemotongan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang menginginkan penghematan anggaran di seluruh departemen dan lembaga negara menyusul perubahan asumsi harga minyak mentah dunia. Namun, tidak seperti tertulis di dalam Surat Menteri Keuangan No. S-1/Mk.02/2008 pada Januari 2008 yang menginstruksikan penghematan sebesar 15 persen, perkembangan terbaru, pemotongan itu sebesar 10 persen flat.

”Semua departemen dipotong 10 persen. Sebelumnya, saya telah mengupayakan agar pemotongan (anggaran pendidikan) hanya 4 persen. Perjuangan di tingkat kabinet telah berhasil dan diputuskan. Tetapi, ketika diusulkan ke DPR, itu tidak disetujui panitia anggaran,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi X DPR Ade Firdaus mengatakan sebaliknya, pemotongan anggaran pendidikan itu bukan semata-mata keinginan DPR.

Nampaknya, baik Pemerintah maupun pihak DPR sama-sama berkelit soal PEMANGKASAN ini.

Lalu soal sertifikasi. Di bawah judul:SERTIFIKASI:Guru Tergiring Jadi Kolektor Sertifikat, Kompas memberitakan bahwa Sertifikasi guru cenderung menjebak guru pada kultur formalistik. Dalam upaya memenuhi persyaratan penilaian portofolio, guru lebih suka memburu dan mengoleksi lembar-lembar sertifikat dan piagam forum ilmiah ketimbang memahami esensi profesionalisme sebagai pendidik.

Demikian terungkap dalam seminar ”Guru Menggugat Sertifikasi” di Makassar, Minggu (6/4). Seminar yang digelar oleh Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia (FK-PAGI) tersebut menampilkan Suparman (Ketua Federasi Guru Independen), Prof Dr Arismunandar (Rektor terpilih Universitas Negeri Makassar), dan Sriyanti (aktivis lembaga swadaya pendidikan Kerlip).

Sementara itu di Halaman Nasional tertulis judul berita: Karpet DPR 'Hanya' Rp2 Miliar. Kata Kepala Biro Pemeliharaan Bangunan dan Instalasi pada Kesekjenan DPR, Hadi Wijaya mengatakan, biaya yang dianggarkan untuk penggantian karpet dan wallpaper tidak mencapai Rp3,3 miliar. Kata dia, jumlah itu terlalu besar.

Meski tak bisa merinci besaran pastinya, ia menyatakan jumlah yang dianggarkan 'hanya' di bawah Rp2 miliar. "Ah, hanya di bawah Rp2 miliar kok. Nggak sampai sebesar itu (Rp3,3 miliar), Anda dapat dari mana? Itu juga masih Pagu (yang dianggarkan), dalam pelaksanaannya bisa dibawah itu," kata Hadi saat dihubungi Kompas.com.

Ironis sekali, ya. Ketimbang memotong anggaran pendidikan, lebih baik menunda penggantian karpet yang saya yakin masih layak pakai itu.

No comments:


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.