Monday, April 13, 2009

Repotnya Mengkhitankan Anak Balita


Bagi setiap lelaki muslim wajib hukumnya untuk khitan. Saya, sebagai orang tua seorang anak lelaki punya kewajiban untuk mengkhitankan anak saya itu. Sekarang anak saya berusia genap 5 tahun pada tanggal 11 September 2009 yang akan datang.
Dan kami merencanakan untuk mengkhitankan pada saat anak saya kelas 4 Sekolah Dasar.
Namun, rencana itu nampaknya harus berubah, lantaran kami barusan ”boyongan” pindah rumah. Dan sudah menjadi tradisi kampung saya, setiap pindah rumah pasti mengundang para tetangga sekitar untuk diajak ”selamatan”.
Rencananya acara ini disatukan dengan acara aqiqah anak saya – yang memang untuk yang lelaki itu belum saya aqiqahkan.
”Kalau sekalian khitan bagaimana?” ada satu saudara yang mengusulkan.
Kami masih pikir-pikir. Anak saya masih keciul. Apa mau.
Namun, setelah dipertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya kami setuju. Apalagi saat ditawarkan ke anak saya, dianya mau. Disunat, dipotong burungnya? Kami menegaskan. Anak saya menagguk mantap.
Akhirnya, setelah subuh, tanggal 2 April 2009 kemarin, anak saya pun dikhitankan.
Alhamdulillah, prosesnya lancar. Walau awalnya menangis, saat disuntik bius, akhirnya proses khitan berjalan lancar.
Apa hikmahnya? Ternyata ”kulit helm” burung anak saya itu sulit untuk dibuka. Kata mantri sunatnya, hanya ada lubang kecil – sebagai jalannya kencing. Makanya, setiap ”kebelet” kecing selalu ditahannya. Baru setelah lama, baru dikencingkan.
”Jadi memang – kalau melihat kondisi demikian – harus segera disunat. Bila tidak, pasti akan semakin sukit kencing, nantinya.
Alhamdulillah, setelah lewat 3 hari, itu burung sudah mulai mengering. Insya Allah besok pagi sudah bisa buka perban saat mandi “kum-kum”, begitu pikir saya.

Tapi apa lacur. Setelah lewat 3 hari anak saya nggak mau mandi, walau saya paksa. Lebih dari itu, hampir sepanjang hari anak saya minta dikipasi itu punya burung.

Tentu saja saya mulai berbagi piket dengan istri saya. Dan, alhandulillah, dengan penuh kesabaran, akhirnya kemarin sore, itu perban bisa dilepas juga. Tapi soal kipas masih harus berjalan hingga kini. Terlebih saat mau dan setelah kencing.

Thursday, April 9, 2009

Sambil Berplesir, Golput Pun Mengalir

Keponakan saya tanya besok nyontreng apa? Jawabnya : GOLPUT, oom!

Hah? Kenapa memang?

Saya dan teman-teman sekantor (di suatu Bank di Surabaya) 5 bus akan pergi ke Bali, jawabnya enteng.

SURYA live pun, 8 April 2009, memberitakan hal yang serupa. Dengan Judul Imbas Pemilu di Liburan Panjang, Ramai-ramai Pelesir daripada Nyontreng diberitakan nahwa Pemilihan umum (pemilu) untuk anggota legislatif 9 April pagi nanti yang bertepatan dengan dimulainya liburan panjang (long weekend) selama empat hari, tampaknya mendorong ribuan warga untuk lebih memanfaatkan waktu itu dengan menikmati liburan daripada menggunakan hak pilihnya.

Indikasi itu terlihat dari melonjaknya permintaan bepergian/berwisata yang diterima oleh biro-biro perjalanan dan wisata di Jatim, dengan waktu pemberangkatan pada 8 April hari ini serta waktu kembali pada 12 April nanti. Membanjirnya permintaan perjalanan tersebut tidak hanya untuk tujuan domestik tetapi juga luar negeri.

Dalam grafiknya, SURYA memaparkan bahwa pada masa Orde Lama Golput mencapai 12,34%. Pada masa Orde Baru (1971 - 1992) rata-rata Golputnya turun menjadi 8,70%. Dan di awal Orde Reformasi (1999) Golput naik lagi menjadi 10,40%. Cilakaknya pada Tahun 2004 (Pileg dan Pilpres) rata-rata Golputnya memecahkan rekor: 23%. Pada Pileg 2009 ini naga-naganya bakal memecahkan rekor lagi kalau kita melihat fenomena yang diberitakan oleh SURYA live tadi.

Saya sendiri, selain untuk DPR Pusat, nampaknya tidak atau belum punya pilihan. Ada saran?


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.