Thursday, May 29, 2008

APBN untuk Rakyat atau untuk Birokrat dan Wakil Rakyat?

DI negeri ini para pemilik mobil adalah kaum beruntung. Bayangkan, tercatat tak sampai 8 juta mobil pribadi berseliweran di negara berpenduduk 230 juta ini. Walhasil, karena cukup banyak keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil, cukup aman untuk menduga bahwa pemilik kendaraan roda empat ini adalah kelompok sepuluh persen rakyat Indonesia terkaya. Mereka berada di ujung atas tingkat kesejahteraan.

Di ujung yang lain hidup sekitar 20 juta keluarga termiskin bangsa ini dengan pendapatan di bawah US$ 2 sehari. Mereka jelas masuk kelompok fakir miskin, yang menurut konstitusi harus dientaskan dari kepapaannya oleh pemerintah.

Tapi apa yang selama ini dilakukan pemerintah?

Gara-gara kenaikan harga minyak dunia yang gila-gilaan belakangan ini, sebagian besar dana pengeluaran pemerintah ternyata dipakai untuk mensubsidi bahan bakar minyak, yang tahun ini diperkirakan mencapai 132 triliun. Ini berarti lebih dari empat kali lipat belanja untuk Departemen Pendidikan, lembaga pemerintah yang anggarannya paling besar.

Lantas siapa saja penikmat subsidi ini? Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan 70 persen dari jumlah itu dinikmati para pemilik mobil. Untuk setiap kendaraan beroda empat, pemerintah memberikan subsidi rata-rata sejuta rupiah sebulan. Artinya, keluarga kaya yang memiliki empat mobil akan menerima derma pemerintah Rp 4 juta sebulan. Bandingkanlah nasib kalangan beruntung itu dengan keluarga termiskin di negeri ini, yang hanya menerima bantuan Rp 100 ribu sebulan, itu pun diterima tiga bulan sekali. (MBM Tempo Online, Cabut Subsidi Mobil Pribadi).

Jika pemerintah menyatakan bahwa subsidi BBM kebanyakan dinikmati oleh rakyat kaya, pemerintah keliru. Subsidi BBM adalah ibarat oli dalam mesin pertumbuhan ekonomi, terutama untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Jika pemerintah tidak mampu memberi stimulus pertumbuhan ekonomi yang lain, mencabut subsidi BBM ibarat mengambil napas hidup lebih dari 100 juta rakyat Indonesia.

Jumlah UMKM di Indonesia mencapai 48 juta unit dan sebagian besar bergantung pada BBM. Begitu juga dampak bagi nelayan, yang 60 persen biaya produksinya berasal dari BBM. Jumlah nelayan di Indonesia mencapai 3,4 juta orang (Statistik Perikanan 2004). Jika dihitung dengan jumlah orang yang bergantung pada jenis usaha ini (UMKM dan nelayan, asumsi 3 orang per unit), ada sekitar 150 juta manusia yang menggantungkan nafkah hidupnya pada subsidi BBM secara langsung. Ibarat manusia yang telah sesak napas akibat kenaikan bahan pangan dunia yang tinggi, kenaikan harga BBM akan membuat rakyat semakin tersengal-sengal.

Berkaitan dengan defisit APBN yang dialami oleh pemerintah, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah keberadaan anggaran yang cukup bagi pemerintah dapat membuat pemerintah cukup efisien dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apakah cukup dengan BLT yang nilai dan cakupannya tidak seberapa dan hanya berlaku tidak sampai setahun? Atau dengan anggaran kesehatan di APBN yang persentasenya masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lain? Atau amanat anggaran pendidikan di dalam konstitusi yang mencapai 20 persen yang cuma utopis? Itu baru alokasi, belum tingkat efisiensi anggaran yang benar-benar sampai ke rakyat.

Lamban dan korup

Sekadar untuk mengingat kembali tahun 2005, ketika pemerintah baru menaikkan harga BBM sebanyak dua kali (128 persen), tidak lama setelah itu (2006) DPR mengajukan kenaikan gaji yang tidak tanggung-tanggung, yaitu sebesar 40-60 persen. Dari take home pay sebesar Rp 25 juta menjadi Rp 35 juta-Rp 40 juta, sementara untuk pimpinan DPR mencapai Rp 60 juta-Rp 70 juta. Total penambahan gaji anggota DPR ketika itu mencapai Rp 200 miliar. Kenaikan gaji tersebut tentu saja sangat melukai nurani keadilan rakyat. Namun, program tersebut jalan terus, dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi fungsi DPR. Kenyataannya, setelah beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK, DPR terbukti masih tidak efisien dan tidak mampu menunjukkan kepedulian kepada rakyat.

Begitu juga dengan lembaga eksekutif. Kenaikan gaji PNS yang mencapai 20 persen (di beberapa direktorat Departemen Keuangan kenaikan mencapai hampir 400 persen, lihat situs depkeu.go.id) apakah dapat mengefisienkan fungsi pemerintah dalam pelayanan publik sehingga ujung-ujungnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi? Kenyataan menunjukkan bahwa mesin birokrasi yang diberi subsidi dana pajak dari rakyat (APBN) masih merupakan mesin yang terlalu gemuk, lamban, dan korup.

Hal ini terbukti dari tingkat kebocoran anggaran dalam pengadaan barang dan jasa yang disebut oleh KPK mencapai 30 persen. Anggaran belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah di dalam APBN mencapai Rp 600 triliun, dan jika kebocoran dapat disetop, penghematan dapat mencapai Rp 150 triliun (sumber hukumonline.com, 1/11/2007). Nilai itu hampir setara dengan subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk rakyat.

Begitu juga efisiensi dalam penegakan hukum. Dana koruptor BLBI yang mencapai ratusan triliun rupiah bisa raib begitu saja. (KOMPAS, APBN untuk Siapa?)

Tapi nasih sudah menjadi bubur. Bagaimana lagi...........

Menurut TEMPO, sebenarnya nasi sebenarnya belum jadi bubur. Kenaikan harga minyak dunia masih terus meroket dan anggaran pemerintah hanya aman untuk sementara. Majalah ini berharap, waktu jeda yang tersedia setelah kenaikan harga bahan bakar minyak dimanfaatkan sebaik mungkin. Pilihan kebijakan tentang harga minyak tak boleh lagi semata-mata demi menyelamatkan neraca anggaran pemerintah, tapi harus bertumpu pada sisi keadilan belanja uang negara. Itu sebabnya persiapan mencabut subsidi bahan bakar minyak bagi para pemilik kendaraan bermotor pribadi harus dilakukan dan diterapkan pada waktu yang tepat.

No comments:


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.