Sejak pasar gula (pasir) domestik diliberalisasi lewat proyek neoliberalisme yang didesakkan oleh IMF, nasib petani tebu tidak banyak berubah. Di zaman colonial, rezeki petani tebu dihisap oleh pemerintah colonial ketika merdeka, pengisapan, diskriminasi dan eksploitasi baru tetap lestari dan berlanjut. Yang berbeda hanyalah namanya saja: neokolonialisme. Kini, ketika petani memasuki era neoliberalisme, petani juga diisap, didiskriminasi lewat agen-agen penyebar neoliberalisme (IMF, WTO dan Bank Dunia), pemburu rente (rent seeker), importer, pedagang, dan lain-lain.
Demikian sepenggal ungkapan yang ditulis oleh Khudori (Bab 4) dalam bukunya yang berjudul: Gula Rasa Neoliberalisme: Pergumulan Empat Abad Industri Gula, diterbitkan oleh Pustaka LP3ES, Jakarta, Cetakan Pertama, Mei 2005, Harga Rp 30.000.
Gula, bubuk berwarna putih, selalu enak dibicarakan. Bukan saja karena rasanya manis, tetapi juga karena kehidupan manusia hampir tidak bisa dilepaskan dari gula. Segala usia, tua-muda, kaya-miskin, gemuk-kurus semua memerlukan gula. Karena itulah dalam table makanan pokok (staple food) penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, gula dimasukkan sebagai salah satu dari sembilan barang kebutuhan pokok. Sisanya adalah beras, minyak goring, mentega, daging sapid an ayam, telur ayam, susu, jagung, minyak tanah dan garam.
Gula dalam bahasa Arab disebut sukar. Sedang orang Inggris menyebutnya sugar. Kata “gula” menurut dugaan sebagian besar orang Indonesia (karena sebagian besar orang Indonesia berasal dari bahasa Jawa, dari kata dandang gula; sebuah langgam lagu Jawa yang penuh dengan nuansa gembira ria.
Gula adalah salah satu symbol peradaban manusia yang berjalan lebih dari 2000 tahun. Mesopotamia dan Persia sudah menghasilkan gula yang berasal tebu sejak tahun 500 Sebelum Masehi. Bahkan, Columbus, sejak awal merencanakan membuka perkebunan tebu dan membangun pabrik gula di Hispaniola, mirip seperti di Kepulauan Canary dan Madeira. Dalam pelayaran kedua ke “Dunia Baru” pada tahun 1493, dia membawa bibit dan memaksa penduduk local, bangsa Indian, untuk membudidayakan tebu. Pekerjaan mereka teramat berat, apalagi sebagai budak. Banyak di antaranya mati sia-sia. Populasi bangsa Indian pun menurun drastis.
Bagimana di Indonesia?
Buku ini, penulis kelahiran Lamongan, alumnus S1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Jember ini, mencoba untuk menelusuri jejak-jejak berikut evolusi kolonialisme sejak industri gula berkembang di Indonesia empat abad silam.
Bab 1 Memaparkan tentang asal-usul kolonialisme negeri Barat ke berbagai belahan bumi berikut pekatnya perbudakan yang penuh dominasi, eksploitasi dan diskriminasi dalam perkembangan industri gula di dunia
Bab 2 Menyajikan tentang Kolonialisme Gula di Hindia Belanda. Sebagai ilustrasi, Sistem Tanam Paksa rentang tahun 1833 – 1840 memberi pemasukan 35,3 % dari total pendapatan nasional Negeri Belanda. Nilainya pada periode 1860 – 1865 sama dengan 56,8 % dari pendapatan nasional Kerajaan Belanda.
Bab 3 Menguraikan soal metamorfosa dari Kolonialisme ke Neokolonialisme, sejak Nasionalisasi Industri Gula (1945 – 1959), Industri Terpimpin (1959 – 1965), Liberalisasi Pemasaran (1968 – 1971), Industri Terkelola (1971 – 1997).
Bab 4 Dari Neokolonialisme ke Neoliberalisme, tentang Dinamika Aktor Pembentuk Kebijakan, lalu Menyingkap Motif Agen Liberalisiasi.
Bab 6 Bangkit dari Keterpurukan: Melawan Neoliberalisme, tentang Hilangnya Insentif Petani, Kondisi Industri gula Nasional, Problem Kultural dan Struktural, Identifikasi Potensi Diri dan Membangun Kemandirian: Melawan Neoliberalisme.
Membaca buku ini, kita akan menyaksikan betapa nasib petani tebu yang tak pernah bisa menikmati hasiulnya secara maksimal. Karena setiap panen tiba, harga gula selalu merosot. Manakala panen telah berlalu, harga gula menanjak naik. Dan petani sudah tidak memiliki gula lagi.
Penulis dalam bagian akhir Bab 6 (Membangun Kemandirian: Melawan Neoliberalisme, mencoba memberikan solusi, agar dapat meningkatkan harkat hidup petani tebu.
Pembenahan hendaknya diawali dengan pembenahan dan penangan aspek kebun (on-farm) berupa kebijakan: (i) rehabilitasi tanaman keprasan; (ii) penyediaan bibit bermutu sesuai lokasi dan agroklimat melalui penanaman di kebun bibit; (iii) peningkatan mutu budidaya tebu lewat penyediaan dana pembelian sarana produksi; dan (iv) kebijakan penyediaan air (irigatin policy).
Keberhasilan kebijakan di tingkat on-farm harus dibarengi pula dengan kebijakan fiscal dalam bentuk direct payment. Kebijakan dana talangan seperti yang dijamin SK Memperindag Nomor 643 Tahun 2002 yang kemudian diubah menjadi SK Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 seperti berlaku selama ini, perlu dipertahankan.
Perbaikan di tingkat Pabrik Gula, perlu segera diintroduksi goverenansi korporat (corporate goverenance). Yang utama adalah soal transparansi pengukuran rendemen, untuk itu perlu adanya tim independent.
Cuma masalahnya, lanjut penulis, problem klasik di Indonesia adalah ganti pemerintahan ganti kebijakan. Berbeda dengan negeri maju, pemilu atau proses pergantian kekuasaan pemerintahan hamper tidak mengganggu sector lain, termasuk sector pertanian. Di Jepang, Jerman, dan Inggris, ada pemilu atau tidak ekonomi akan tetap berjalan sebagaimana biasa.
Kapankah itu bisa terjadi di negeri kita tercinta ini? Tanya saya mengakhiri tulisan ini….
No comments:
Post a Comment