Wednesday, November 14, 2007

Akal dan Pikiran (Logic and Arithmatic)

Fahmi Basya

Akal, dalam bahasa lainnya adalah logic. Ia merupakan jawab spontan dari mahluk cerdas (basyaru). Pada dasarnya, problema akal adalah mudah, simple dan dapat dipahami oleh setiap tingkat intelektual manusia, dari para cendekia hingga pada orang-orang pedesaan sederhana.

Di dalam Al-Qur’an, juga data-datanya berisi problema akal, maka ia senantiasa diakhiri pernyataan ya’qilun. Misalnya pada Al-Qur’an Surat ke-13 ayat (4), yang artinya:

Dan di bumi ada beberapa bidang yang berhampiran dan kebun-kebun anggur dan tetumbuhan dan korma yang berumpun dan yang tak berumpun. Disiram oleh karakter H2O yang satu. Maka kami lebihkan sebagian atas sebagian dalam rasa. Sesungguhnya di dalam itu ada data-data bagi kaum yang berakal.

Pikiran, adalah sequen (barisan) akal-akal, atau serangkai akal-akal yang membuat jalan singkat untuk sesuatu penyelesaian dari sesuatu problema.

Problema pikiran, tidak dapat dijawab dengan spontan. Ia memerlukan waktu untuk menyambung-nyambung akal, sesuai dengan panjang akal yang dimiliki.

Di dalam Al-Qur’an, data-datanya yang berisi suatu problema pikiran, biasanya ditutup dengan yatafakkaruun, misalnya Al-Qur’an Surat ke-13 ayat ke (3) yang artinya:

Dan DIA memperganda bumi, dan menjadikan padanya Rawaasiya dan siang hari. Dan dari tiap benih dijadikan padanya sistem-dua menurut malam-siang.

Lalu Al-Qur’an Surat ke-3 ayat ke (190-191) yang artinya:

Sesungguhnya dalam penciptaan tatasurya dan pergantian malam dan siang ada data-data bagi pemikir-pemikir Muslim
Yang mengenang Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring dan memikirkan dalam penciptaan tata surya. “Majikan kami! Tidak Engkau ciptakan ini dengan palsu. Maha dipatuhi Engkau.

Dari data-data di atas, terlihat jelas bahwa menggunakan pikiran tidak semudah menggunakan akal. Pada Al-Qur’an Surat ke-13 ayat (4) itu misalnya, terlihat bahwa persoalan padanya cukup mudah hingga dapat secara spontan dipahami oleh setiap intelektual. Akan tetapi memikirkan penciptaan tata surya seperti digambarkan Al-Qur’an Surat ke-3 ayat (191) alangkah sulitnya, dan diperlukan waktu yang panjang guna menyambung-nyambung akal.

Dengan kata lain. Untuk memikirkan penciptaan tatasurya tentu diperlukan Teropong Bintang yang digunakan untuk melihat benda-benda angkasa. Dan ini tidak semudah melihat pohon-pohon di bumi dengan mata telanjang.

Orang yang bermain catur dengan banyak memakai akal, akan dikalahkan oleh orang yang menggunakan pikiran. Hal ini dapat dilihat dari setiap langkah-langkah mereka.

Orang yang menggunakan akal, hanya akan mengakali langkah-langkah yang kelihatan; sedangkan mereka yang menggunakan pikiran, memikirkan satu langkah di depan, di mana dia bisa melakukan skak mat.

Karena mereka memikirkan satu langkah di depan yang belum kelihatan oleh orang banyak, maka langkah-langkahnya terlihat aneh, kaku, janggal dan asing dari kebiasaan umum. Namun demikian, langkah-langkah itu bukanlah langkah-langkah yang salah. Hal ini eqivalent dengan bahasa ilmu pasti yang kaku itu.

Jadi, sebenarnya problema pikiran harus dipikirkan dan jangan hanya diakali. Sedangkan problema akal tidak perlu dipikirkan lagi. Problema pikiran yang dipecahkan dengan akal, tentu akan menemui kesalahan-kesalahan, sekalipun pelakunya merasa benar dan puas. Hal yang seperti ini mungkin dapat anda lihat pada anak-anak Sekolah Dasar yang sering mendapat nilai tinggi di sekolah, meskipun mereka tidak pernah belajar di rumah. Ini karena akal si anak lebih panjang daripada problema akal yang diberikan sekolah. Oleh sebab itu ketika mereka telah di SMP atau di SMA, dan mereka juga tidak belajar di rumah, maka dapat kita saksikan nilai-nilai mereka menurun secara drastis. Tentu kita mengerti mengapa demikian. Tidak lain karena initial segment dari problema sudah jauh lebih panjang dari unit akal mereka.

Maka benarlah kalau problema pikiran yang dipecahkan dengan akal pasti akan menemui kesalahan-kesalahan, karena rumusan di space akal tidak berlaku di space pikiran; seperti tidak berlakunya hukum yang ditulis Newton para space relativitas yang ditemukan oleh Einstein.

Lebih lanjut marilah kita lihat bagaimana kesalahan-kesalahan itu terjadi ketika kita mencoba untuk mengakali suatu problema pikiran. Dan kita lihat berapa banyak kesalahan yang kita lakukan tanpa sadar pada contoh berikut ini.

Satu problema akal misalnya: Kalau saya punya kertas setipis 1 mm, kemudian saya kalikan 50.000 kali. Maka tebal kertas itu menjadi 50.000 mm saja atau 50 meter. Hal ini dengan cepat anak SD dapat menjawabnya.

Sekarang kita kemukakan problema pikiran dan kita coba menjawabnya dengan akal. Kalau saya mempunyai selembar kertas tipis, setipis 1/1000 mm, kemudian dibagi dua, dan kemudian didempetkan dan dibagi dua sekaligus dan kemudian didempetkan dan dibagi dua sekaligus…. Dan seterusnya sampai pembagian yang ke 50.

Yang ditanyakan: Berapa tebal kertas tipis itu semuanya jika disusun setelah pembagian yang lima puluh itu?

Bagaimanapun juga, akal anda dan akal saya mengatakan: “Tebal kertas itu tidak akan lebih dari 1 meter.”, sebab kertas itu hanya berasal dari setipis seper seribu milimeter, dan hanya dipotong dan didempetkan sebanyak 50 kali saja. Bagaimanapun juga, jawaban satu meter adalah terlalu tebal, kata akal anda dan akal saya.

Kalau saya katakan bahwa jawaban yang sesungguhnya adalah lebih dari sejuta kilometer, tentu andak katakan “dongeng”. Tapi bagi anak-anak dari jurusan Usul Diin tentu telah paham persoalan ini.

Dari jawaban yang menyolok di atas, kita dapat memahami bagaimnana para Nabi dan Rasul pada masa yang silam diejek dan dikatakan sebagai orang gila oleh kaum mereka. Tidak lain hal itu adalah karena mereka kaum-kaum yang tidak berakal.

Bagi seorang sastrawan, mereka akan mengatakan satu kata-kata sindiran “jauh ganggang (maksudnya mungkin: panggang – pengutip) dari api”, tetapi mereka yang sedikit mau berpikir, persoalan itu sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana melalui hitungan anak SMP, yaitu:

Satu kali pemotongan, kertas menjadi 2 potong : 21
Dua kali pemotongan, kertas menjadi 2 potong : 22
Tiga kali pemotongan, kertas menjadi 2 potong : 23
……………………………………………………..
Lima puluh kali pemotongan, kertas menjadi 2 potong : 250

Kita dapat tahu bahwa 250 = 1.125.899.900.000.000.
Jadi tinggi kertas tipis itu seluruhnya 1.125.899.900 meter, atau lebih dari 1.000.000 km. Apakah ini senda gurau?

Kalau tadi 1 meter, maka akal kita sudah mengatakan terlalu tebal, padahal tingginya melebihi 1.000.000.000 meter, maka kita melihat di sini betapa kesalahan pada contoh ini telah mencapai seribu juta kali, karena problema pikiran kita selesaikan dengan akal.

Maka dari pengalaman demikian, kiranya kita memerlukan satu metodologi ilmiah untuk menemukan kebenaran dari suatu persoalan.

---------------------------------------------------

Saya menemukan tulisan ini dalam buku stensilan, tanpa penerbit dan tanpa tahun, ditulis oleh Fahmi Basya dengan judul buku yang tanpa judul. Karena saya anggap penting, apa salahnya saya simpan dalam blog saya ini. Ini adalah tulisan nomor 1.

Berikutnya akan saya posting yang nomor 0 dengan judul Risalah Rabbiku.

No comments:


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.