Menurut TEMPO, jawabnya : Yayasan Bersalah, Soeharto Tidak
Dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Supersemar, Soeharto dinyatakan tak bersalah. Kroni-kroninya senang.
Kabar gembira itu datang tak lama setelah sidang kasus Yayasan Supersemar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selesai, Kamis pekan lalu. Majelis hakim yang dipimpin Wahjono menolak gugatan pemerintah atas almarhum Soeharto, dalam perkara penyelewengan dana yayasan.
Namun majelis hakim tetap menjerat Yayasan Supersemar dengan membayar 25 persen dari ganti rugi US$ 420 juta (Rp 3,8 triliun) dan Rp 185 miliar. Kelak, kewajiban yang mesti ditunaikan lembaga itu US$ 105 juta atau setara dengan Rp 950 miliar dan ditambah Rp 46,4 miliar. Sedangkan gugatan imaterial Rp 10 triliun tak dipenuhi oleh majelis hakim.
Sesudah Soeharto meninggal pada 27 Januari lalu, Mamiek dan lima saudaranya, kecuali Hutomo Mandala Putra, disorongkan oleh jaksa penuntut sebagai ahli waris kasus. Walau tak pernah hadir dalam sidang, dengan vonis ini mereka bebas dalam perkara yayasan.
Lantas kenapa Pak Harto bisa bebas dari vonis hakim? Alasan majelis hakim bahwa Soeharto sebagai pendiri yayasan tidak bersalah, menurut Aswan, yang bersangkutan sebelum lengser telah mempertanggungjawabkan kepada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan itu diterima. ”Jadi tak terbukti melawan hukum.”
Jadi Pak Haro bisa bebas karena MPR (saat dipimpin oleh Harmoko) menerima pertanggungjawabannya. Nah, lu......
Yayasan Supersemar berdiri di era Orde Baru. Yayasan yang menjadi ”lumbung” dari setoran 5 persen laba bersih semua bank pemerintah ini bergerak di bidang sosial. Salah satunya memberikan beasiswa kepada anak pintar tapi secara ekonomi kurang mampu. Dalam perjalanannya, penyaluran duit melenceng ke sejumlah perusahaan.
Di antara perusahaan yang dikucuri modal yayasan adalah maskapai penerbangan Sempati Air milik Hutomo ”Tommy” Mandala Putra, Bank Duta, dan kelompok usaha Kosgoro. Berikutnya perusahaan milik Bob Hasan, salah satu kroni Soeharto, yaitu PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, PT Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri.
Jaksa pengacara negara Yoseph Suardi Sabda mengatakan, keputusan hakim terbalik. Mestinya bukan yayasan yang disalahkan, tapi orang yang membuat kebijakan. ”Di mana-mana kasus korupsi yang dijerat orangnya,” katanya. ”Badan hukum atau korporasi tak mungkin ada tanpa pengendali.”
Ia khawatir putusan majelis hakim menimbulkan preseden buruk apabila kasus ini berkekuatan hukum tetap, mengingat yayasan lain yang dikelola Soeharto semasa berkuasa diduga banyak yang menyimpang. Setelah kasus Yayasan Supersemar beres, menurut Yoseph, kejaksaan secepatnya mengajukan gugatan Yayasan Amal Bhakti Pancasila dan Yayasan Dharmais. ”Perjuangan kami belum selesai,” ujarnya kepada Tempo.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudi Satrio, menilai pertimbangan hakim membebaskan Soeharto karena pertanggungjawabannya diterima MPR tidak pada tempatnya. Itu pertanggungjawaban politis yang tidak bisa disandingkan dengan masalah yurtidis. ”Zaman itu, banyak pelanggaran hukum, tapi penegakan hukum lemah. Tak berani sama Soeharto,” katanya.
Dampaknya, Rudi menambahkan, kroni-kroni Soeharto yang nantinya menghadapi gugatan berkaitan dengan yayasan akan minta perlakuan serupa. Yang tidak masuk akal di sini, menurut Rudi, hakim memutus yayasan membayar ganti rugi.
Itu artinya, menurut Rudi, secara tidak langsung majelis hakim mengakui ada kesalahan dalam manajemen Yayasan Supersemar. ”Mestinya Soeharto dinyatakan bersalah,” kata Rudi, yang menganggap aneh keputusan hakim.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Juntho, mendesak Kejaksaan Agung mengusut kasus Yayasan Supersemar melalui jalur pidana. Walau Soeharto telah meninggal, pengurus dan pemilik perusahaan penerima duit yayasan bisa dijerat ikut menyalahgunakan kekuasaan. ”Tidak ada jalan lain,” katanya.
JALAN MENUJU KEADILAN NAMPAKNYA MENEMUI TEMBOK YANG MAHA TEBAL. PERLU KEKUATAN YANG MAHA DAHSYAT UNTUK BISA MENJEBOLNYA.
Nampaknya ini ujian berat bagi pemerintah Orde (ter)Baru bin Orde Reformasi, menjelang Pemilu 2009.
No comments:
Post a Comment