Pada bulan April ini ada dua hari penting yang layak kita peringati. Yang pertama tanggal 21 dan yang kedua tanggal 28.
Tanggal 21 pasti sebagian besar tak silap untuk bilang bahwa itu adalah hari lahir R. A. Kartini. Tapi tanggal 28-nya. Mungkin tak banyak yang tahu. Tanggal 28 April adalah tanggal meninggalnya Chairil Anwar, pelopor sastra Angkatan Tahun 1945.
Walau usia Chairi Anwar belum genap 27 tahun, namun melalui karya-karyanya, ia membuktikan kebenaran kata-katanya, Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi. Contoh,
Sebuah sajak yang berjudul :
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
..................
Siapa yang tak kenal sajak ini. Sejak di SMP, lewat pelajaran Bahasa Indonesia, kita dikenalkan sajak tersebut.
Dan bahwa ia adalah sastrawan terkenal, terbukti banyak sajak-sajaknya yang dipakai dalam lomba-lomba deklamasi dan lomba baca puisi.
Menurut Agus R. Sarjono, penyair, esais dan redaktur Majalah sastra Horison, kehebatan Chairil itu karena ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan mengetengahkan dua ciri, yaitu pertama jenis Sastra Mimbar (sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu, seperti revolusi, perang). Sastra Mimbar secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal ini dapat berupa tanggapan atau jawaban dari persoalan-persoalan besar zaman itu. Contohnya:
KRAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
………..
Ciri yang kedua, Chairil juga menghasilkan Sastra Kamar, sastra uaang menggarap tema-tema keseharian serta berlatarkan situasi keseharian. Contohnya:
HAMPA
kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di luar, sepi menekan mendesak
Lurus-kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
……………….
Meskipun Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik Chairil, ia tetap tak bisa menolak bahwa Chairil berjasa besar dalam memberi sumbangan bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Asrul Sani menuturkan bahwa Chairil mempunyai rasa bahasa luar biasa untuk memberi makna pada kosa kata baru bahsa Indonesia.
Apa arti Chairil Anwar buat kita sekarang? Prof. Dr. Mursal Esten, Pimpinan Redaksi Majalah Sastra, Guru Besar FPBS Universitas Negeri Padang (tahun 2000), mengatakan: Ia adalah personifikasi dari pikiran-pikiran yang menjawab tantangan-tantangan zamannya, dan pikiran-pikiran yang menjawab tantangan masa depan. Ia adalah personifikasi dari keberanian untuk menjadi subyek di dalam sebuah proses perubahan yang panjang dan global. Ia adalah personifikasi atau lambang dari kekuatan kreativitas, sesuatu yang amat diperlukan dalam kelangsungan hidup masyarakat dan umat manusia. Chairil Anwar adalah symbol yang memperlihatkan bahwa hidup manusia terbatas, akan tetapi pikiran-pikiran dsn karyanya dapat melintasi zaman.
Saat menjelang ajal, dalam kesendirian nan penuh kesepian dan keterasingan, ia menulis:
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Riwayat Hidup Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan 26 Juli 1922. Ayahnya bernama Toeloes berasal dari Payakumbuh (Taeh, Kabupaten Limo Puluah Koto, Sumatra Barat) dan ibunya bernama Saleha yang berasal dari Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan ayah Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil bersekolah Belanda HIS (Hollands Inlandsche Scholl) di Medan, kemudian melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uietgebred Lager Onderwijs, setingkat SMP). Ia tidak menamatkan sekolah itu karena pindah ke Jakarta mengikuti ibunya yang bercerai dari ayahnya. Chairil menguasai tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris dan Jerman secara aktif. Pengasaanya atas ketiga bahasa asing itulah yang mengantarkan Chairil pada karya-karya sastra dunia. Oleh sebab itu, pengarang-pengarang seperti Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Marie Rilke, Ernest Hemingway, W.H. Auden, Conrad Aiken, John Conford, Hsu Chih Mo, Archibald Mac Leish, Willem Elsschot, H. Matsman, Edgar du Peron, J. Slauerhoff sangat akrab dengan Chairil. Bahkan, karena itu Chairil ikut tersudutkan sebagai plagiator.
Kumpulan puisi Chairil yang terkenal yaitu “Deru Campur Debu” (1949), “Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus” (1949), dan antologi “Tiga Menguak Takdir” (1950) kumpulan bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin. Karya-karya Chairil telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.
Chairil menikah dengan Hapsah Wiradireja, wanita Cicurug, Sukabumi, yang lahir tanggal 11 Mei 1922. Ia memiliki seorang putrid bernama Evawani Alissa, alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lahir 17 Juni 1947. saat ini Elissa bekerja sebagai notaries di Jakarta. Chairil Anwar meninggal pada usia 26 tahun 9 bulan, pada tanggal 28 April 1949. wariusan karyanya 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Ia dikebumikan di pemakanan Karet Jakarta. Untuk mengenangnya, Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah anugrah kepada para sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil ANwar. Hadiah itu telkah diberikan kepada Mochtar Lubis (1992) dan Sutardji Calzoum Bachri (1998).
[ dikutip dari : Majalah Sastra, Volume 01, Nomor 01, Mei 2000 ]
Sisi Lain Kehidupan Chairil Anwar, bisa juga didownload di sini. Bila ingin tahu Bibliografi Mengenai Chairil Anwar dan karyanya, bisa download di situ.
Sajak yang menjadi favorit saya :
KEPADA KAWAN
Sebelum Ajal mendekat dan mengkhianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
layar merah terkibar hilang dalam kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
30 November 1946
No comments:
Post a Comment