Monday, February 18, 2008

Visit “Banjir” Indonesia 2008

Oleh Rhenald Kasali

Setelah 17 tahun tertidur, Indonesia kembali mencanangkan Tahun Kunjungan untuk merengkuh 7 juta wisatawan mancanegara. Bagi negeri berpanorama indah, jumlah ini terbilang kecil dalam segala hal, tetapi penting untuk memulai komitmen baru. Bagaimanapun, pariwisata terkait erat dengan lingkungan hidup, nilai-nilai sosial, investasi dan keamanan.

Meski demikian, saat bendera start dikibarkan, bukan berita indah yang muncul, tetapi banjir, kesemrawutan pengelolaan bandara, kemiskinan, flu burung, dan lainnya. Benarkah Indonesia berkomitmen membangun masa depan pariwisatanya?

Potensi pasar pelancongan

Setelah menghadapi berbagai tekanan (perang Irak, wabah SARS, tragedi WTC dan tsunami) sepanjang 2001 – 2004, pariwisata dunia bangkit kembali. Menurut World Tourism Organisation(WTO) kunjungan internasional 2006 mencapai 846 juta (tahun 2000, 684 juta). Kenaikan terbesar terjadi tahun 2006, 43 juta.

Dari tambahan itu, sebagian besar dinikmati Eropa (22 juta) dan Asia (12 juta). Sayang kenaikan pesat ke Asia itu belum dinikmati Indonesia yang terkesan pasif, kurang peduli.

Saat wisatawan ke Malaysia meningkat dari 16,4 juta menjadi 17,5 juta dan ke Thailand naik dari 11,5 juta menjadi 13,9 juta, Indonesia justru kehilangan 0,2 juta (dari lima juta) wisatawan. Berbagai masalah keamanan tidak diimbangi peningkatan pelayanan di bandara. Bahkan, terjadi pembiaran, perusakan lingkungan, ketidakmampuan menangani sanitasi (khususnya sampah), dan terakhir terlihat betapa amatir dan tradisionalnya penanganan bandara internasional dan bencana alam yang terjadi berulang-ulang.

Padahal, jika dikelola dengan baik, ekonomi pariwisata lebih prospektif ketimbang pertambangan yang menyisakan kerusakan lingkungan. UN-WTO memperkirakan pariwisata dunia tahun 2006 mencapai 733 miliar dollar AS. Bahkan 75 negara yang panorama dan kebudayaannya tidak begitu penting masing-masing berhasil meraih minimal satu m iliar dollar AS dari sector ini.

Bisnis ini menampung pekerja dengan spectrum amat luas, mulai dari transportasi, travels, perhotelan, telekomunikasi, hiburan, pendidikan, makanan, cinderamata dan perdagangan. Jika pariwisata berkembang, kita bias memindahkan ribuan sopir angkot yang sulit hidup dan memacetkan kota menjadi petugas antar jemput yang lebih sopan dan sejahtera…..

Perlu komitmen baru

Dengan anggaran promosi pariwisata yang terbatas (Rp 150 miliar) dan kurang siapnya daya dukung di bebagai sisi di dalam negeri, wajar bila kita bertanya: Benarkah Indonesia berkomitmen membangun pariwisatanya? Komitmen bukan pesan-pesan PR (public relations) bahwa kita benar-benar siap. Komitmen nampak dalam tindakan dan gerak irama yang saling mengisi, complementarity seluruh komponen bangsa dalam menghadapi segala kemungkinan.

Negara-negara yang komit, jumlah kunjungan wismannya naik signifikan. Komitmen itu bukan hanya urusan promosi wisata, tetapi juga urusan penerbangan, otoritas bandara, jalan tol, dan pemukiman yang dilewati wisatawan, pekerja yang santun dan berkualitas, imigrasi, lingkungan hidup, tata krama, kaum adat, pendidikan, industri, dan sebagainya…….

Dalam setiap proses evolusi, selalu ditemukan penuaan yang bukan disebabkan usia, tetapi karena tetangga berdandan, tampak lebih muda. Dan jika hal-hal seperti banjir saja tak bias ditangani, bukan cerita baik yang akan dibawa pulang wisatawan. Bukan sekadar backfired, sejarah akan mencatat Indonesia sebagai negara yang memperkenalkan kampanye baru, Visit Banjir Indonesia 2008.

(Dikutip dari Opini RHENALD KASALI, Visit “Banjir” Indonesia 2008, KOMPAS, Sabtu, 16 Februari 2008, halaman 6)

No comments:


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.