Tuesday, February 26, 2008

MUI Setuju Aborsi?

Tuesday, 26 February 2008, Surabaya-Surya-Fatwa MUI (Mejelis Ulama Indonesia) dengan tegas menyatakan bahwa secara umum aborsi hukumnya haram. Kendati demikian, dalam keadaan darurat, masih bisa berlaku pengecualian untuk aborsi. Misalnya dalam suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan aborsi, maka ia akan mati.

mui-setuju-aborsi.jpgHanya saja, hingga kini, batasan darurat masih jadi perdebatan yang belum selesai. Termasuk, apakah wanita korban perkosaan bisa begitu saja dibolehkan melakukan aborsi.

“Untuk bisa diperbolehkan aborsi, wanita korban perkosaan itu nanti (harus) dapat rekomendasi dari dokter, mungkin dari kepolisian, juga dari psikiater bahwa wanita korban ini tidak mau punya anak karena akan menjadi problem besar di masa mendatang. Kemudian, bisa diajukan permohonan keputusan ke dewan fatwa MUI atau setelah melalui beberapa rekomendasi,” kata salah-satu ketua MUI KH Amidhan, Senin (25/2).

Isu aborsi sempat terangkat akhir pekan lalu dalam lokakarya Sosialisasi Buku Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi di Hotel Santika, Surabaya.
Dalam lokakarya itu terungkap bahwa meski secara umum ada larangan untuk aborsi baik oleh fatwa MUI No 4 Tahun 2005, KUHP dan UU, ternyata angka kasus aborsi di Indonesia tergolong tinggi. Yakni mencapai 2,5 juta per tahun. "Data tersebut belum termasuk kasus aborsi yang dilakukan dijalur non medis (dukun)," kata Prof Dr H. Jurnalis Uddin P AK, Guru Besar Universitas YARSI Jakarta, salah-satu pembicara dalam lokakarya itu, seperti dikutip Antara.
Menurut dia, penelitian pada beberapa fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan lembaga kesehatan lainnya menunjukkan, fenomena aborsi di Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.

Amidhan menjelaskan, batas umur kandungan yang bisa dibolehkan aborsi dalam kondisi darurat adalah jika belum sampai 40 hari. Pasalnya, proses kejadian manusia dalam ilmu kedokteran dan kitab suci Al-Quran dan Hadits menyebutkan bahwa janin dalam kandungan berusia 40 hari sudah ditiupkan ruh.

Menurut Prof Dr Huzaemah Tahito dari Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, jika aborsi tersebut dilakukan pada janin di dalam kandungan usia 40 hari, “Hal itu sama artinya dengan menghilangkan nyawa manusia,” katanya dalam lokakarya.

Dari penelitian WHO diperkirakan 20-60 persen aborsi di Indonesia adalah aborsi disengaja (induced abortion). Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan dari sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan.
Jurnalis Uddin mengatakan, kasus aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan (70%), sedangkan di pedesaan dilakukan oleh dukun (84%). Klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun.

Perempuan yang tidak menginginkan kehamilanya tersebut, kata Jurnalis Uddin, dikarenakan beberapa faktor di antaranya hamil karena perkosaan, janin dideteksi punya cacat genetik, alasan sosial ekonomi, ganguan kesehatan, KB gagal dan lainnya.
"Biasanya perempuan yang hamil karena perkosaan akan menderita gangguan fisik dan jiwa berat seumur hidup," katanya menjelaskan.

Masih Perdebatan
Secara terpisah, Ketua MUI bidang Komisi Remaja dan Perempuan, Prof Dr Chuzaimah T Yanggo juga mengatakan bahwa larangan aborsi itu telah jelas tertuang dalam fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005.
Namun, Chuzaimah menambahkan pula, larangan itu dikecualikan bila kondisinya darurat. "Misalnya, karena menyelamatkan jiwa si ibu dalam suatu keadaan yang darurat, aborsi boleh dilakukan. Bahkan wajib karena menyelamatkan jiwa si ibu,” kata Chuzaimah saat dihubungi Surya, Senin (25/2) malam.

Sebetulnya, jelas dia, menghilangkan nyawa baik itu si ibu atau bayinya tidak boleh. Tapi, dalam keadaan darurat, harus dilihat mana yang lebih banyak mudharatnya kalau dipertahankan.
"Si ibu kan punya tanggung jawab, terhadap dirinya, kewajiban kepada Allah, keluarga. S
Sementara janin kan belum punya tanggung jawab apa-apa," kata Chuzaimah
Bagaimana dengan korban perkosaan ?

Terhadap persoalan itu, fatwa MUI, menurut Chuzaimah, membagi dua.Yakni ad-dharuroh dan al hajjat. Untuk al-hajjat, orang itu merasa susah, merasa sulit.
"Nah, orang korban perkosaan masuk kategori ini. Mereka dibolehkan menggugurkan kandungan selagi usianya itu masih belum 40 hari. Sekarang ini kalau periksa ke bidan atau ke dokter, satu atau dua minggu kan sudah ketahuan kalau perempuan itu hamil. Oleh sebab itu diberikan batas waktu 40 hari," jelas Chuzaimah.

Bagaimana kalau perbuatannya suka-sama suka, tetapi belakangan si perempuan kemudian mengaku diperkosa karena si pria lari dari tanggung jawab ?
"Kalau yang seperti itu tetap haram hukumnya. Kalau itu dibolehkan aborsi, jadi gawat nanti.
Dibolehkan aborsi hanya jika korban perkosaan bisa stres berat akibat kehamilannya yang terpaksa. Daripada dia nanti gila, tidak waras, nanti kan kewajibannya sebagai manusia bisa terganggu. Jadi penekanannya pada stres berat tadi. Tapi, sebetulnya kalau dia tidak menggunggurkan, itu akan lebih baik,” kelas Chuzaimah.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim KH Muammal Hamidi mengatakan, apa yang disebut keadaan darurat (yang kemudian jadi dalih untuk memboleh aborsi) perlu diperjelas batasannya.
Menurut Muammal, sampai sekarang pengertian darurat itu yang masih menjadi perdebatan. Terkait dengan aborsi karena kasus perkosaan, Muammal malah berpendapat, aborsi sebagai akibat dari kasus perkosaan tidak boleh dilakukan. Karena hal itu, menurut pendapatnya, tidak masuk dalam kriteria darurat.

“Itu bisa dianggap sebagai kasus kecelakaan,” katanya.
Tentang kekhawatiran bahwa kelahiran anak dari hasil perkosaan akan mempengaruhi psikologi si ibu yang korban perkosaan, menurut KH Muammal, itu bukanlah alasan yang tepat.
“Kalau khawatir, semuanya bisa khawatir. Ya, mestinya yang harus diperhatikan janganlah khawatir. Sebab, kalau kekhawatiran dijadikan landasan, semua bisa jadi khawatir,” ujarnya.

Sedangkan pakar Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Roesminingsih MPd mengatakan dari sisi pendidikan seorang perempuan yang melakukan aborsi tidak dibenarkan. Karena janin yang ada dalam kandungan tidak bersalah dan berdosa. Meskipun dia berasal dari hubungan di luar nikah atau hasil pemerkosaan. Meski masih dalam kandungan, kata Roeminingsih, janin punya hak untuk hidup.

“Dan dalam kasus ini, yang salah itu kan orang tua atau yang melakukan pemerkosaan. Bukan janin yang ada dalam kandungan. Makanya kalau aborsi dibolehkan meski dengan catatan, fatwa tersebut kurang tepat dan dari sisi pendidikan harus dikaji lagi,” ujar Roesminingsih kepada Surya, Senin (25/2).

Meski masih dalam kandungan, janin, kata anggota Dewan Pakar Jatim ini, sebenarnya sudah menerima pendidikan. Misalnya, orang tua ingin anaknya senang musik, maka orang tuanya harus senang mendengarkan musik. Sehingga kalau hanya karena alasan, seperti takut tak bisa membiayai anaknya kalau lahir, si ibu tetap tak boleh menggugurkan janinnya. jbp/had/bet/yat/uji

No comments:


Soegeng Rawoeh

Mudah-mudahan apa yang tertuang dalam blog ini ada guna dan manfaatnya.