Nampaknya tambang minyak yang berada di bumi Nusantara ini tak lebih dari sebuah kutukan belaka. Betapa tidak, Seperti kata MT Zen, Guru Besar Emeritus ITB, menulis di KOMPAS bahwa : Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.
Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
Cadangan tak tersentuh
Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.
Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.
Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.
Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.
Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.
Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.
Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?
Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”
Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.
Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.
Semoga ini menjadi refleksi kita semua. Khususnya para petinggi negara ini, yang notabene 'abdi negara' demi kesejahteraan (bukan kesengsaraan) bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment