Untuk menanggapi semangat pak SBY nggak ada salahnya saya kutipikan sebgaian wawancara mas Darminto dengan Pak Harto berikut ini:
“Meskipun tersirat, Bung Karno sempat menyinggung soal gelombang separatisme yang belakangan melanda Indonesia karena perilaku salah pemerintah yang lalu, maksudnya pemerintahan Orde Baru. Bagaimana menurut pendapat Bapak?”
“He-he-ha… namanya daripada pembangunan itu, memang butuh daripada pengorbanan. Jer basuki mawa bea Ya, to? Jadi sudah sepantasnya sebagai saudara sebangsa dan se tanah air, pihak yang kuat harus membantu daripada pihak yang lemah. Jadi kita harus ambek parama arta. Mulat sarira angrasa wani. Sigra tan magita. Sedumuk bathuk, senyari bumi. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, aja gugupan. Ya, to? Ya, toh?”
“Saran Bapak untuk pemerintahan sekarang?”
“Kita ini kan bangsa daripada yang berbudi luhur. Jadi ya harus bisa melakukan daripada mikul dhuwur, menhem jero. Menghormati daripada jasa-jasa senior dan menyembunyikan serapat-rapatnya dosa-dosa dan kesalahan daripada sang senior itu. Sebagai pemimpin harus bisa mengamalkan daripada delapan kebajikan, seperti termuat dalam serat daripada Hasta Brata, begitu. Pemimpin harus bertindak seperti daripada Matahari, Bulan, Bintang, Bumi, Angin, Laut, Api dan Air.”
“Kok Bapak nyontek Raden Ngabehi Ronggowarsito?”
“Ah, nggak apa-apa. Dia juga nyontek daripada Prabu Rama Wijaya.”
(Sumber, Wawancara Imajiner dengan Bung Karno dan Pak Harto, dalam buku tulisan Darminto M. Sudarmo, Anatomi Lelucon di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, November 2004, Cetakan pertama)
No comments:
Post a Comment